SEJARAH
GEREJA KRISTEN JAWA
Cikal bakal
Siang dan malam, sembilan orang dari kalangan terbawah masyarakat Jawa dengan profesi buruh miskin tukang mbatik yang menjadi pembantu Ny. Van Oostrom Phillips di Banyumas, nekad berjalan kaki dalam rombongan kecil menerabas desa-desa dan pegunungan menuju ke Semarang (sejauh sekitar 300 Km) untuk sekadar mendapatkan tanda babtis dari Zendeling NZG W. Hoezoo pada 10 Oktober 1858 karena pemberian tanda babtis di karesidenan Banyumas oleh zendeling tersebut dilarang oleh pemerintah kolonial setempat. Mereka inilah cikal bakal pertama gereja GKJ; GKJ tumbuh pertama kali di kawasan Banyumas.
Cikal bakal kedua adalah dua orang lelaki dan tiga orang perempuan pekerja miskin batur (pembantu rumah tangga) Ny. Christina Petronella Phillips Stevens di Ambal, Purworejo yang menerima tanda babtis mereka di Gereja Indische Kerk Purworejo pada 27 Desember 1860.
​
Pendewasaan
Pendewasaan pepanthan Gereja-gereja Jawa pertama kali terjadi atas gereja Purworejo (4 Februari 1900) tak lama kemudian disusul pepanthan Temon. Namun pendewasaan ini ternyata lebih bersifat pamer kebisaan kepada Golongane Wong Kristen “Jowo” kang Merdhiko pimpinan Kyai Sadrach untuk membuktikan bahwa zending tidak bermaksud lain kecuali mendirikan gereja-gereja Jawa dengan pendeta-pendeta Jawa. Tanpa topangan zending, pendewasaan kedua gereja ini hanyalah ketergesaan semata. Mungkin baru pada pendewasaan kelompok Glonggong - Kebumen (3 November 1911) dan kelompok Gondokusuman Yogyakarta (23 November 1913) pendewasaan gereja ini agak cukup pantas disebut lebih dapat dipertanggungjawabkan. Baru sesudah berjalan 26 tahun hanya Gereja Gondokusuman yang pertama kali siap memanggil pendeta atas diri Ds. Ponidi Sopater pada tahun 1926 dari antara 17 gereja Jawa yang sudah didewasakan oleh zending yaitu Purworejo, Temon, Glonggong, Gondokusuman, Solo, Klaten, Tungkak, Patalan, Candisewu, Magelang, Kesingi, Palihan, Kebumen, Grujugan, Purbalingga, Grendeng dan Adireja.
Gereja-gereja ini menggeliat di bawah pimpinan Guru-guru Injil didikan "Opleiding School van de Helper bij de Dienst Woords" (Sekolah bagi Pembantu-pembantu Pada pelayanan Firman Tuhan/Sekolah Guru Injil) Yogyakarta dibantu serta oleh guru-guru sekolah zending dan mantri jururawat rumah sakit dan poliklinik zending. Merekalah para penumbuh dan pemimpin gereja Jawa sesungguhnya, namun di bidang dana dan ajaran ketergantungan gereja-gereja ini pada zending ZGK masih merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditutup-tutupi.
Pada tanggal 17-18 Februari 1931 gereja-gereja Jawa yang saat itu menamakan diri "Pesamoewan Kristen “Gereformeerd” ing Tanah Djawi Tengah sisih Kidoel", yang masing-masing mengelompok dalam 5 klasis bersinode pertama di Kebumen, ini menjadi tonggak pertama persidangan sinode Gereja-gereja Jawa Tengah Selatan untuk disusul dengan sinode-sinode berikutnya, walaupun peran serta para Pendeta Missioner ZGK masih cukup besar untuk menuntun para pemimpin gereja Jawa berjalan menapaki kedewasaannya yang masih rapuh ini.
Kedewasaan Geredja-geredja Kristen Djawa Tengah Selatan (sebutan yang akhirnya sering dipakai) menemukan kesempatan ketika gereja-gereja Jawa harus berjuang menegakkan kehidupannya sendiri saat para Pendeta Missi ditawan oleh pemerintah pendudukan Jepang sejak 1943 dan hubungan dengan gereja Eropa terputus. Saat ini era kemandirian gereja terlihat akan betul-betul mulai dapat dijalani. Namun ternyata gereja Jawa masih harus bersabar. Walaupun Gereja-gereja Kristen Jawa Tengah Selatan berhasil menggandeng saudara-saudaranya seperti Greja Kristen Jawi Wetan, Gereja Kristen Jawa Tengah Utara - Parepatan Agung, Gereja Kristen Jawa – Sekitar Muria, Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee Jawa Tengah serta Gereja Kristen Pasundan Jawa Barat dalam lembaga Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja Protestant di Indonesia (DPG di Indonesia) yang dibentuk tahun 1946 di Yogyakarta; dan lewat organisasi ini mereka mencanangkan euforia kemerdekaan dengan tidak mau lagi menerima bekas zending-zendingnya, namun keinginan ini harus mengalami sedikit perubahan. Gereformeerde Kerken in Nederland (GKN) dan Nederlandsch Hervormde Kerk (NHK) yang mewakili gereja pengutus masih menghendaki paling tidak adanya kerjasama dalam pekabaran Injil di Indonesia. Basoeki Probowinoto selaku utusan Geredja-geredja Kristen Djawa Tengah Selatan yang menjadi motor DPG ketika hadir sebagai utusan Gereja Jawa dalam Sinode GKN di Eindhoven tahun 1948 harus bersedia melangkah surut karena dia diingatkan oleh seniornya (S.U.Zuidema) bahwa jika gereja-gereja Gereformeerd Belanda tidak lagi diberi peran dalam pekabaran Injil sama saja dengan mematikan mereka karena dalam pengertian mereka tidak ada gereja tanpa pekabaran Injil, yang berarti mereka berhenti sebagai gereja missioner. Terpaksa Gereja Jawa harus menerima konsep bekerjasama dengan bekas zendingnya lewat Regionaal Acccord dan Algemene Accord yang ditandatangi di Belanda tahun 1948. Kerjasama ini berlangsung mulai tahun 1950-an saat Geredja-geredja Kristen Djawa Tengah Selatan disatukan dengan Geredja Kristen Djawa Tengah Utara dalam Sinode Persatuan di Salatiga 5 – 6 Juli 1949, dan sejak itu bernama Geredja-geredja Kristen Djawa Tengah (GKDT). Akibatnya sampai tahun 1970 kedewasaan gereja Jawa kembali terbelenggu dan dikerdilkan di bawah supremasi kucuran dana dan tenaga dari partner gereja Eropa. Basoeki Probowinoto sadar akan bahaya ini dan untuk itu pada tahun 1955 dia mengusulkan terobosan baru yang terkenal sebagai Nota Probowinoto, namun kenyamanan yang telanjur dibentuk lewat kucuran dana yang berlimpah itu sulit untuk diubah. Baru sesudah secara tiba-tiba gereja partner ini menyatakan tidak lagi melanjutkan bekerjasama dalam Pekabaran Injil, justru inilah saat gereja Jawa (sejak tahun 1956 berubah nama menjadi Geredja-geredja Kristen Djawa/GKD) mendapat kesempatan menjalani kedewasaannya yang sesungguhnya dan harus dewasa dalam segalanya.