Burung Yang Sama Bulunya, Berkumpul Bersama…
Sebagai manusia, kita dijadikan oleh Tuhan sebagai makhluk sosial, makhluk yang sejak lahir, tumbuh, dst. membutuhkan hubungan dengan orang lain. Tanpa bantuan orang lain, kita tidak akan pernah menjadi manusia yang wajar. Namun demikian, ketika manusia hidup bersama dengan “sesama manusia”, timbul banyak ketidak-samaan. Dan manusia cenderung memilih hidup dengan mereka yang dirasa sama. Sesama yang tanpa batas, menjadi sesama yang terbatas. Kemanusiaan yang di hadapan Tuhan sama, menjadi kemanusiaan yang sedemikian banyak dibedakan oleh perbedaan. Sedemikian bedanya, sampai kadang-manusia tidak lagi dapat melihat sesamanya sebagai sama-sama manusia.
Ada pepatah orang bijak yang mengatakan : “burung yang sama bulunya, berkumpul di dahan yang sama”. Maksudnya adalah bahwa manusia cenderung berkumpul, berkawan, dan merasa sama dengan mereka yang dianggap sama, sederajat, sepaham dsb. Pola sikap seperti itu tidak saja mengatur pengelompokan manusia, tetapi juga pola hubungan dan interaksi antar manusia. Pengelompokan dan interaksi semacam itu meciptakan juga garis-garis batas. Seperti layaknya papan catur, seorang ditempatkan dalam kotaknya. Ia harus tahu status dan fungsinya, cara jalannya, dan juga derajatnya. Dengan kotak tertentu, sekelompok orang juga sering digeneralisir identitas dan tingkah lakunya.
Mengasihi sesama adalah dasar yang sangat penting. Tanpa landasan mengasihi sesama, tidaklah mungkin kita melakukan sesuatu untuk melayani atau melakukan sesuatu demi kebaikan dan keselamatan orang lain. Namun mengasihi sesama juga tidak dapat berlangsung, kalau pemahaman dan penghargaan kita terhadap orang lain sedemikian buruk. Jadi dibutuhkan suatu kemampuan untuk memperbaharui pemahaman dan penghargaan manusia terhadap sesamanya. Dan untuk itu kita perlu belajar untuk menaklukkan egoisme dan egosentrisme baik individu maupun kelompok, yang merupakan penghalang paling besar untuk mengasihi sesama. Kita adalah manusia, bukan sekedar burung. Belajar memahami bahwa di balik banyak perbedaan, kita menemukan kemanusiaan yang sama, dan belajar untuk menghargai dan mengasihi orang lain dengan “bulu berbeda” menjadi salah satu ukuran apakah kita sungguh mengenal dan melakukan kasih.
Secara radikal Yesus mengritik kasih dalam pengkotak-kotakan seperti itu. “Kasihilah musuhmu…” Dengan ketulusan kasih tanpa batas iitu, kita belajar menjadi anak-anak Bapa di sorga. Bapa yang menerbitkan matahari, baik bagi orang yang baik maupun bagi yang jahat. Bapa yang menurunkan hujan, baik bagi orang yang benar maupun yang tidak benar. Apabila kita hanya mengasihi orang yang mengasihi kita, apakah hebatnya?