Musik Gerejawi (6)
Musik yang digunakan dalam peribadahan ternyata memiliki dimensi yang lebih kompleks dari yang kita kira. Di dalamnya terdapat pergumulan teologis mendalam, pergulatan dengan zaman, hingga kepada pengalaman pribadi penulis/komposer yang ditransendensikan dalam sebuah lagu. Di masa kini, pergulatan gereja-gereja dalam musik gerejawi biasanya berkutat pada penggunaan musik/lagu kontemporer dengan iringan/lagu yang setia kepada tradisi misalkan saja lagu-lagu himne dalam Kidung Jemaat dll. Pergumulan serupa kiranya juga dirasakan oleh GKJ di banyak tempat. Sebagai gereja yang mewarisi tradisi presbiterial (calvinis), GKJ ingin tetap memijakkan kakinya pada tradisi yang selamat ini telah turun temurun namun disatu sisi generasi yang lebih muda menginginkan sebuah dinamika peribadahan yang lebih mengikuti semangat zaman. Bila bertahan pada tradisi maka GKJ terancam akan kehilangan generasi mudanya sementara bila mengikuti tata peribadahan yang lebih dinamis maka GKJ akan kehilangan identitasnya, lantas bagaimana mengatasi ketegangan ini?
Pedoman Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ yang terbit tahun 2017 rupanya telah membaca kecenderungan ini. Pada buku pedoman pada bagian IIA tentang peribadahan, GKJ menjelaskan secara jelas bahwa pola liturgi yang dipakai dalam GKJ ialah pola liturgi yang terdiri dari empat bagian,yaitu: berhimpun, pewartaan sabda, persembahan (dan sakramen), pengutusan. Dengan pemahaman atas pola liturgi yang disepakati bersama tersebut, maka sesungguhnya GKJ ingin menekankan tradisi peribadahan yang tetap harus dijaga serta diakui bersama oleh setiap GKJ di aras lokal. Namun di satu sisi ada juga ruang untuk gerak yang lebih dinamis seperti misalnya jenis instrumen atau aransemen yang digunakan dalam peribadahan tidak diatur dalam Tata Gereja/Tata Laksana/Buku Pedoman. Selain itu dimungkinkan pula untuk menggunakan lagu-lagu lain di luar buku-buku lagu yang sudah ada sejauh liriknya dapat dipertanggung jawabkan secara teologis (Buku pedoman, bagian IIA, No.6).
Pada intinya adalah segala tindak peribadahan kita seharusnya dapat membawa seseorang untuk lebih merasakan kehadiran Tuhannya. Untuk mencapai situasi tersebut masing-masing orang memiliki preferensi tersendiri yang dipengaruhi oleh budaya, pemahaman teologis, dan corak spiritualitas mereka. Sebagai jemaat maka yang dapat kita lakukan ialah merayakan tiap perbedaan tersebut dalam semangat untuk memperkaya khazanah peribadahan kita.