Gereja dan Kehidupan Bernegara
Tahun 2019 akan menjadi tahun politik bagi bangsa ini. Di tahun tersebut akan dilaksanakan pesta demokrasi serentak yang mengundang seluruh rakyat Indonesia untuk turut berpartisipasi. Meskipun baru dilaksanakan beberapa bulan mendatang namun situasi telah memanas dan terasa bahkan dari tahun 2017. Masyarakat semakin terpolarisasi oleh perbedaan-perbedaan pilihan politik, apalagi kita melihat bahwa kini agama turut diajak masuk dalam kancah pertempuran para politisi. Agama yang seharusnya menjadi pemersatu bangsa ke arah perjuangan bersama atas keadilan dan kedamaian lambat laun justru menjadi alat pemecah belah. Banyak gereja tengah berada di persimpangan jalan yakni memutuskan untuk tetap berada dalam posisi netral serta mendorong persatuan bangsa atau disisi lain menerima tawaran kubu-kubu tertentu untuk menjadi juru bicara mereka.
Berbicara tentang relasi gereja (agama) dan negara sejatinya bukanlah hal baru. Telah lama kekristenan mencoba untuk merumuskan relasi ini. Pada masa ketika kekristenan diakui oleh kekaisaran Romawi sebagai agama negara hingga kepada abad pertengahan, gereja berada pada posisi yang begitu mesra dengan negara. Bahkan seorang Paus pernah berada dalam posisi sejajar dengan Raja dan memiliki pengaruh politis yang cukup besar. Akibatnya adalah gereja seringkali dipakai oleh penguasa untuk menjalankan kebijakan politisnya yang seringkali mengentungkan pemerintah dan menyengsarakan rakyat. Abad modern datang dan lahirlah paham sekularisme. Bangsa-bangsa di belahan bumi barat memutuskan untuk memisahkan antara gereja (agama) dan Negara. Keduanya tidak boleh saling mencampuri. Lambat laun paham tersebut juga menyebar ke belahan bumi lain dan diadopsi oleh negara-negara yang baru merdeka dari jajahan negara-negara di Barat.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Sejak awal pendirian dan perumusan dasar Negara ini oleh para pendiri bangsa, mereka memutuskan sebuah relasi yang cukup unik antara negara dan agama. Republik ini bukanlah sebuah negara berdasarkan agama dan bukan pula negara sekuler. Jalan tengah ini diambil atas dasar persatuan bangsa dan mendamaikan pihak yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara agama atau negara sekuler. Jalan tengah itu kini kita kenal dengan PANCASILA. PANCASILA berhasil menyatukan rakyat ini yang begitu beragama suku, budaya, agama, dan ideologi politiknya. Gereja-gereja Indonesia juga turut menjadi pihak yang berkomitmen untuk menjaga kedaulatan bangsa ini dari awal berdirinya sampai selamanya. Di tengah berbagai ancaman yang semakin menguat merongrong dasar negara dan kesatuan bangsa ini maka gereja dituntut untuk mewujudkan komitmennya terhadap bangsa. GKJ sebagai bagian dari iring-iringan gereja di Indonesia maka juga tidak terlepas dari komitmen tersebut. Bagaimana relasi dengan negara dirumuskan oleh Pokok-pokok Ajaran GKJ dan bagaimana pemahaman tersebut memampukan kita untuk berkontribusi lebih banyak lagi terhadap persatuan serta kedamaian bangsa ini.