top of page

Gereja dan Kehidupan Bernegara (2)


Kebangkrutan dan kemunduran VOC pada pertengahan abad ke 18 juga berdampak pada gereja-gereja di Hindia Timur, mereka agak kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan operasional serta pelayanan Gereja. Meskipun demikian ada pula yang mengatakan bahwa titik itu adalah titik ‘kebebasan’ gereja dari Negara, misalnya saja dalam mengangkat dan memberhentikan Pendeta, Gereja tidak wajib lagi untuk berkonsultasi dengan Pemerintah. Gereja berubah seturut kebijakan nasional yang terjadi terutama ketika VOC benar-benar bangkrut di awal abad 19. Kekuasaan VOC di Hindia Timur diambil alih oleh pemerintah Belanda. Abad 19 jadi penanda berkurangnya interfensi pemerintah pada Gereja serta kebangkitan badan-badan misi independen.

Badan-badan misi independen (zending) bekerja secara mandiri dan bergerak berdasarkan dana yang dihimpun secara swadaya. Kemandirian secara dana ini pada akhirnya juga turut berkorelasi dengan cara zending melaksanakan misinya. Meskipun begitu dalam realita pelaksanaan misi di Hindia Belanda tetap saja lembaga-lembaga zending tetap di kontrol secara ketat oleh pemerintah. Pembatasan-pembatasan yang dilakukan pemerintah terutama berkaitan dengan stabilitas keamanan di suatu daerah. Aktivitas zending di suatu daerah memang terkadang menemui kendala terutama apabila suatu daerah dikenal sebagai basis massa Islam yang kuat. Di daerah Jawa Barat misalnya, pemerintah Hindia Belanda melarang keras zending untuk beroperasi disana terutama terkait dengan pergolakan masyarakat yang terjadi.

Memasuki abad 20 relasi gereja dan negara semakin independen meskipun tidak dapat dibilang bahwa pemerintah lepas tangan terhadap gereja sepenuhnya. Ketika masa pergerakan kemerdekaan dan menuju proklamasi kemerdekaan, gereja mulai menunjukkan kedekatan dengan gerakan-gerakan nasionalisme. Gereja turut andil dalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan melalui organisasi-orginasasi kemasyarakatan yang turrut disponsori gereja. Setelah kemerdekaan perlahan-lahan pola relasi gereja dan negara semakin mengadopsi pola yang lebih dulu ada di negara-negara barat. Namun demikian gereja melalui Dewan Gereja-gereja Indonesia (sekarang PGI) tetap berkomitmen untuk berjalan bersama dengan Negara mewujudkan kesejahteraan bangsa. Pada akhirnya hingga kini, PGI merumuskan relasinya dengan negara sebagai relasi yang terpisah dan tidak saling menundukkan, namun tetap mengawasi negara agar tetap melaksanakan fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.

Gereja memang tidak boleh untuk terlibat dalam politik praktis namun gereja tetap boleh untuk memiliki ‘sikap politik’. Sikap politik gereja adalah sebuah komitmen untuk menyatakan Kerajaan Allah di tengah dunia. Kerajaan Allah akan hadir di dunia apabila di dunia terwujud keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian terhadap semua ciptaan. Pewujudan keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian itulah yang seharusnya menjadi titik temu antara gereja dan negara.

Kategori
Recent Posts
Archive
bottom of page