“Berlimpah Tapi Gersang.”
“Berlimpah Tapi Gersang.”
“Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia.” Lukas 15:27-28
Bersama bapanya, si sulung hidup berkelimpahan. Namun, kedekatan dan kebersamaan dengan bapanya, kelimpahan yang tak henti diterimanya, baginya tidak berarti apa pun, dan tidak membuatnya berbahagia. Mengapa?
Si sulung sangat egois. Dia memusatkan hidup pada diri sendiri begitu rupa hingga apa pun di luar kepentingannya sendiri baginya tak berarti. Adiknya pun baginya tak berarti. Ketika adik yang hilang itu pulang, bukan kegembiraan yang memenuhi hatinya. Dia tak suka bapanya menerima adiknya kembali, tak suka bapanya mengampuni adiknya, tak suka adiknya menerima kebaikan. Bahkan, kegembiraan bapanya—yang meluap karena kepulangan adiknya— membuatnya marah besar. Si sulung tidak menyetujui kehendak maupun tindakan bapanya.
Memang, selalu demikianlah ihwalnya. Jika kita tidak menyetujui kehendak dan tindakan Bapa Surgawi, dan justru ingin agar Dia menuruti keinginan kita, kegersangan hidup akan menguasai hati kita: Menerima banyak berkat, tetapi merasa tak mendapat sesuatu pun. Berkelimpahan, namun merasa tak memiliki apa pun. Dicintai, tetapi merasa dibelakangi. Dirangkul, tetapi merasa diabaikan. Disertai, namun merasa dikucilkan. Dilindungi, tetapi merasa dibiarkan. Didukung, tetapi merasa dicampakkan. Dituntun, tetapi merasa ditinggalkan. Berlimpah, tetapi gersang.
Agaknya, sebelum kegersangan menggerogoti rasa dan merundung hidup, penting bagi kita untuk tiap kali memeriksa hati: Adakah di sana hal-hal yang dapat menghalangi kita merasakan limpah ruah kasih Bapa?
Selamat Menjalani Hari. ^-^