top of page

Sejarah GKJ


Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Februari. Bagi sebagian orang bulan Februari mungkin tidak ada maknanya dan berjalan seperti bulan-bulan lainnya. Namun bagi GKJ sesungguhnya bulan tersebut memiliki makna yang dalam karena pada bulan itulah GKJ mulai merumuskan dirinya dan lahir mewarnai kekristenan di Indonesia. Kekristenan yang hidup dan tumbuh di GKJ merupakan sebuah perpaduan yang unik yakni antara upaya yang dilakukan oleh orang-orang Eropa baik secara pribadi ataupun lembaga-lembaga misi dan disisi yang lain terdapat pula upaya penginjilan yang dilakukan oleh seorang tokoh kristen Jawa yang salah satunya ialah Kyai Sadrach.


Ada beberapa lembaga misi yang membidani lahirnya sinode GKJ. Tercatat misalnya Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG) yang berdiri pada tahun 1797 dan Nederlandsche Gereformeerde Zendings Vereeniging (NGZV) berdiri tahun 1859, keduanya adalah badan misi yang wilayah pelayanannya berada di Jawa. NZG memfokuskan diri di Jawa Timur sementara NGZV memiliki wilayah pelayanan di Jawa Tengah. Melalui pekerjaan NGZV inilah pada akhirnya nanti lahir Sinode GKJ. NGZV didirikan oleh gereja Gereformeed Belanda yang beraliran calvinis bersistem pemerintahan gereja presbiterial. Maka tidaklah heran bila bentuk Sinode GKJ saat ini adalah Presbiterial Sinodal, yakni ‘pemerintahan’ Gereja yang dipimpin oleh majelis gereja lokal, sembari mengikatkan diri dalam Sinode.


Di sisi lain kita mengenal Kyai Sadrach, seorang tokoh yang mula-mula mengenal kekristenan karena perjalanan spiritualnya untuk mencari kebenaran. Sadrach belajar kepada Tunggul Wulung seorang tokoh penginjil di Jawa Timur dan kemudian mendalami kekristenan lebih lanjut di Batavia dan dibaptis menjadi seorang Kristen. Kemudian Sadrach-pun terlibat dalam upaya penginjilan dengan membantu seorang Belanda. Lambat laun ia melakukan upayanya sendiri dan melakukan penginjilan dengan metode-metode yang khas Jawa. Upaya penginjilan Sadrach mendapat respon yang baik di tengah-tengah masyarakat Jawa. Perpaduan antara kekristenan dan budaya Jawa yang diajarkan Sadrach rupanya mengundang orang untuk mengenal kekristenan. Pada periode 1870-1876 saja sudah terdapat lima gereja didirikan yakni di Karangjasa (1871), Banjur (1872), Karangpucung, Kedungpring, dan Karangjambu (semua pada tahun 1873).


Apa yang dilakukan Sadrach tersebut bukan tanpat tantangan. Begitu pesatnya jemaat-jemaat ini tumbuh, rupanya mulai mengusik pemerintah kolonial karena takut bahwa gerakan rohani tersebut akan berubah menjadi gerakan politik sebagaimana Pangeran Diponegoro dahulu. Peristiwa tersebut diperburuk dengan kecurigaan dari Zending mengenai upaya Sadrach, padahal selama upaya penginjilannya ia selalu bekerja sama dengan pihak Indische Kerk.

Kategori
Recent Posts
Archive
bottom of page