top of page

Sejarah GKJ (5)


Perkembangan pesat persekutuan dan peribadahan orang-orang Jawa di Jakarta yang telah dibahas di edisi sebelumnya, ternyata juga tak lepas dari silang pendapat diantara para pengurus saat itu peribadahaan saat itu. Persoalan ini terkait dengan penambahan kata “Gereformeerd” di antara “Gereja Kristen Jawa” di Batavia. Usul ini menimbulkan polemik, apalagi sebagian orang merasa bahwa mereka tidak berasal dari Gereformeerd. Masalah ini terjadi secara berlarut-larut, bahkan hingga pada akhirnya ada dua kelompok kebaktian. Kelompok “Gereformeerde Kerk” Kwitang pindah ke Christelijke Standaard School, Kwitang, dan kelompok lain tetap di HTS Salemba yang tetap dilayani oleh Ds. K. Tjokrosiswondo.


Terlepas dari kondisi ini Majelis Jemaat Gereformeerde Kerk, Kwitang, rupanya mampu berpikir beberapa langkah ke depan. Kemajuan pemikiran tersebut direalisasikan dengan memanggil seorang tenaga gereja lulusan Sekolah Teologia Yogyakarta, Basoeki Probowinoto, untuk melayani secara khusus jemaat berbahasa jawa yang dinaungi Gereformeerde Kerk. Probowinoto inilah yang pada akhirnya cukup berjasa untuk menyatukan kembali kedua jemaat yang terpecah tersebut. Dalam buku peringatan Pdt. Basoeki Probowinoto diceritakan bagaimana kiprah seorang Probowinoto memediasi kedua pihak yang berkonflik, singkat cerita ketika Probowinoto datang ke Batavia datanglah masing-masing utusan dari kedua kubu untuk meminta dukungannya, alih-alih memihak satu diantara keduanya Ia mengajukan pertanyaan kritis yang intinya adalah “apakah masing-masing pihak bisa sungguh membedakan aliran-aliran gereja dengan masing-masing kebaikan dan keburukannya?”. Pertanyaan yang diajukan itu sama-sama dijawab dengan diam dan oleh karenanya Probowinoto melanjutkan penjelasannya dan berkata: “kalau begitu jangan berpijak pada aliran melainkan pada Firman Allah, ajaran Kristus, dan melaksanakan perintah Kristus”. Semenjak itulah kemudian kedua kubu ini kembali bersatu.[1]


Singkat cerita Probowinoto tertahbis menjadi pendeta jemaat Kristen Jawa di Jakarta pada 28 Maret 1943. Ia membawa jemaat diaspora ini melampaui jaman Jepang yang sulit itu hingga kepada paruh awal kemerdekaan sebelum akhirnya Ia memutuskan untuk berpelayanan di bidang politik dan pendidikan. Jemaat ini pun terus tumbuh dengan semangatnya untuk bersekutu di tengah lingkup kota yang semakin majemuk dan berkembang pesat. Perpecahan yang dulu dialami sudah tak nampak lagi dan bahkan kini GKJ Jakarta juga turut andil dalam pemeliharaan iman saudara-saudara suku Jawa di tanah Sumatera. Sebuah teologi yang menggerakkan jemaat ini ialah bahwa mereka meyakini bahwa jemaat Gereja Kristen Jawa di Jakarta ditanam di masa yang sulit, dan tetap berkembang dimasa yang tenang. Ketangguhan ini adalah hasil sebuah teologi yang menghayati keberadaan Tuhan dalam cara-cara yang memberdayakan. Ada sebuah pertambahan jemaat yang cukup pesat dalam rentang 10 tahun dihitung dari tahun 1952 berjumlah 571 jiwa dan di tahun 1962 berjumlah 2068.




[1] Nico L. Kana & N. Daldjoeni, Ikrar & Ikhtiar dalam hidup Pdt. Basoeki Probowinoto, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 22

Kategori
Recent Posts
Archive
bottom of page