top of page

HIDUP YANG LEBIH HIDUP


Dalam dunia kedokteran jiwa, dikenal sebuah gejala atau penyakit yang menyerang otak, yang disebut aphasia. Ketika seseorang menderita aphasia, ia kehilangan kemampuan untuk menggunakan dan memahami kata-kata.


Suatu hari seorang dokter berbicara dengan seorang penderita aphasia. Pasien itu mengeluh: “Dokter saya sedih sekali, karena saya tidak bisa berbicara”. Dokter itu menjawab: ”Tetapi Anda sedang berbicara!”. Tapi pasien membantah : ”Ah tidak, saya tidak tahu lagi banyak kata-kata. Saya tidak mampu mengingatnya dan sama sekali tidak bisa berbicara”. Dokter itu kemudian menguji : “Baik, coba sekarang ucapkan kata: “nasi”. Dan pasien itupun menjawab: “Maaf dokter, kata “nasi” adalah kata yang tidak saya kenal dan tidak bisa saya ucapkan!. Mengerti nggak sih pak dokter, bahwa saya tidak bisa mengucapkan kata “nasi”?


Seperti gejala aphasia, banyak orang hidup dalam ketidak-sadaran dan ketidak-mampuan yang aneh. Hidup, tetapi merasa tidak hidup dan tidak tahu bahwa ia diberi hidup. Memiliki berkat dan pemeliharaan Tuhan, tetapi tidak memahami dan merasakan bahkan --seperti penderita aphasia, tidak bisa mengucapkan kata “berkat”. Mengalami, tapi tidak bisa memahami.


Manusia kehilangan kepekaan dan kesadaran untuk merasakan kehadiran dan karya Allah meski karya Allah begitu banyak tertebar di dalam hidup kita. Ketidak-mampuan menangkap dan memahami itu mungkin disebabkan karena ketidak-pekaan, karena kesombongan, kekerasan hati, atau karena tidak terlatih. Manusia perlu memperoleh kesembuhan rohani, agar memiliki kepekaan untuk bisa merasakan sentuhan-sentuhan karya Allah.


Mungkin hati dan pikiran manusia sudah terlalu keras atau kaku, atau berisi banyak hal yang membuatnya sakit “aphasia rohani”, sehingga “sambil berbicara, ia mengatakan dan merasa bahwa ia tidak bisa berbicara”. Ketika disuruh mengatakan “berkat”, ia menjawab : kata “berkat” adalah kata yang tidak saya kenal, saya tidak bisa mengucapkan kata “berkat”.


Banyak kegiatan keagamaan sering kehilangan ketulusan dan kepekaan spiritual. Sebaliknya kekuasaan, pujian, arogansi, kepuasan, sering mendominasi kegiatan-kegiatan itu. Doa menjadi bukan doa, karena tidak merindukan hadiratNya, tetapi sekedar pamer kesalehan. Nyanyian, sedekah dan puasa, lebih menjadi kegiatan untuk mencari pahala dan kadang pujian.


Upayakanlah kesederhanaan dan kerendahan hati, keterbukaan kepada Tuhan, kepekaan rohani, dan kasih kepada sesama. Itulah segi-segi yang sedang amat dilupakan dalam kehidupan manusia, yang membuat manusia makin kehilangan keindahan hidupnya. Mungkinkah kita sekarang sedang diajar (atau dihajar?) untuk lebih hidup dan memiliki kepekaan?

Kategori
Recent Posts
Archive
bottom of page