KESAKSIAN YANG MEMBUMI
Banyak orang tidak tahu bahwa dalam sejarah pekabaran Injil di Jawa pada tahap awal, yaitu abad 19, yang berhasil membuka pintu dan memperkenalkan Injil kepada orang Jawa adalah kaum awam, bukan para penginjil resmi atau para pendeta. Memang para pekabar Injil resmi cukup bekerja keras, tetapi karena badan Zending adalah Badan Keagamaan yang terlalu “berwajah” Barat, maka timbul banyak kendala dalam membawa dan memperkenalkan Injil kepada orang Jawa. Mereka bahkan banyak kali mengalami kegagalan dan frustrasi.
Barulah ketika muncul para kaum “awam” (sebutan yang sebenarnya kurang pas dalam gereja Protestan), maka pintu pekabaran Injilpun mulai terbuka. Pekabar-pekabar Injil itu adalah para kaum “awam” Belanda “Indo” seperti : Emde, Anthing, Ny. Oostrom-Philips, Ny. Le Jolle, Coolen. Mereka bukanlah penginjil dalam arti khusus terdidik dan bekerja untuk itu. Kebanyakan dari mereka adalah orang swasta, pegawai perkebunan, pengusaha, tukang jam, pedagang dsb.
Sementara itu di kalangan pribumi muncul juga pada gelombang berikutnya, penginjil-penginjil yang juga bukan orang yang terdidik khusus untuk itu. Keberhasilan mereka bahkan lebih besar dan lebih kuat. Mereka adalah : Ibrahim Tunggul Wulung, Kiai Sadrach, Ditotruno, Paulus Tosari, dsb. Mereka semula adalah pencari-pencari ngelmu yang giat belajar dan kemudian mengajar kepada banyak orang pedesaan. Mereka sungguh punya kemampuan berkomunikasi dengan masyarakatnya.
Mengapa agama Kristen cepat memperoleh tempat dalam masyarakat waktu itu? Karena pesan-pesan keagamaan Kristen diterjemahkan dalam kegiatan sosial sedemikian rupa sehingga secara terasa nyata, menyangkut kebutuhan sehari-hari dan langsung menjawab harapan dari masyarakat yang sedang berjuang. Zending bukan hanya membawa suatu agama baru, tetapi juga menawarkan syarat-syarat yang dibutuhkan bagi masyarakat untuk mencapai kemajuan, yaitu sekolah-sekolah, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan kolportase (literatur). Hal-hal itu pada waktu yang tepat amat diperlukan dan tidak ada lembaga lain termasuk pemerintahpun (waktu itu) yang mampu sedemikian baik menyajikan dan menawarkan kepada masyarakat. Pilihan yang sungguh tepat dengan kebutuhan jaman.
Kesaksian akan menjadi effektif justru ketika hal itu tidak hanya dikhotbahkan dari atas mimbar, apalagi khotbah yang tidak menyentuh hidup sehari hari, tetapi diwujud-nyatakan untuk menjawab kebutuhan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Istilah “mencari jiwa” mungkin harus dikaji kembali: manusia tidak hanya bersifat rohani, tapi harus dilihat secara utuh.