Memberi dari Apa yang Dimiliki
Memberi dalam kelimpahan adalah hal yang lumprah dilakukan. Namun memberi dalam keterbatasan, adalah suatu hal yang langka. Sebab hal itu menyiratkan seberapa besar iman dan kesungguhan seseorang memberi dari apa yang ia miliki, dan seberapa besar kesungguhannya untuk memberi. Kisah janda Sarfat dengan segenggam tepung dan tetesan minyak terakhirnya, menunjukkan iman yang berbuah praktek hospitalitas yang penuh resiko. Pertama, ia menerima orang asing. Janda Sarfat mengubah status Elia dari seorang asing yang menggembara menjadi tamu. Kedua, sebagai nyonya rumah, ia merelakan persediaan makanan terakhirnya bagi Elia, sang tamu. Hidupnya tidaklah dilimpahi oleh materi, bahkan sangat terbatas. Ia bukan orang terkenal, namun dalam keterbatasannya, ia memberikan makanan kepada Elia dari apa yang terbatas yang ada padanya.
Kisah dalam Markus 12:38-44 juga menceritakan tentang seorang janda miskin yang mempersembahkan dua peser uangnya. Kata bahasa Yunani yang dipakai adalah “lepta” dari kata dasar “lepton” yang artinya koin tembaga atau perunggu yang kecil; atau koin logam yang tipis yang merupakan uang logam dengan nilai terkecil pada zaman itu. Sangat kontras bila dibandingkan dengan persembahan para orang kaya. Namun demikian, Yesus justru lebih menghargai persembahan sang janda, yang memberikan seluruh nafkahnya, sementara para orang kaya justru memberi sebagian dari kelimpahannya.
Tindakan dua janda miskin diatas sama-sama menunjukkan kualitas iman yang besar. Mereka memberi dari apa yang ada, dalam keterbatasan mereka. Melalui mereka, karya Allah dinyatakan. Allah memelihara Elia melalui janda miskin di Sarfat. Yesus memberikan pelajaran yang berharga bagi para murid dan kita yang hidup pada masa kini, melalui spiritualitas yang ditampakkan sang janda. Mengajarkan kepada kita tentang iman melalui kesediaan diri memberi dari apa yang kita miliki. Sekecil apapun itu.