top of page

Belajar Mengenal : Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) (3)


Berbicara mengenai gerakan pentakosta di Indonesia maka kita harus turut membicarakan Gereja Pantekosta di Indonesia sebagai gereja beraliran pentakosta tertua di Indonesia. GPDI berawal dari penginjilan yang dilakukan di Indonesia pada tahun 1921, dibawa dari Amerika oleh dua imigran Belanda, Cornelius Groesbeek dan Richard (Dirk) van Klaveren. Mereka memulai pekerjaannya di Bali, termasuk menerjemahkan Injil Lukas ke dalam bahasa Bali dan melakukan penyembuhan ilahi (divine healing; penyembuhan dengan doa). Pemerintah kolonial pada waktu itu melarang kegiatan penginjilan di Bali, sehingga mengakibatkan proses perkembangan gereja pentakosta tidak berjalan baik di Bali. Kemudian gerakan ini memindahkan fokusnya ke pula Jawa dan segeralah berkembang pesat. Pada tanggal 23 Maret 1923 tokoh-tokohnya mendirikan Vereeniging der Pinkster Gemeente in Nederlandsch Oost-Indië (Perhimpunan Jemaat-jemaat Pentakosta di Hindia-Belanda), berkantor di Bandung dan diketuai oleh D.W.H. Wenink van Loon. Organisasi tersebut mengalami perubahan nama pada tanggal 4 Juni 1924 dan namanya diubah menjadi de Pinkster Gemente in Nederlandsch-Indië (Jemaat Pentakosta di Hindia-Belanda), dan kemudian (1937) berubah lagi menjadi de Pinkster Kerk in Nederlands Indië (Gereja Pentakosta di Hindia-Belanda). Pada tahun 1942 organisasi tersebut menggunakan nama berbahasa Indonesia, Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI). Pergerakan GPDI di Indonesia dan demikian pula gerakan pentakosta lain cukup menjadi sorotan pada saat itu. Mereka dipandang sebagai ‘pencuri domba’ oleh kalangan gereja-gereja tradisional yang diwakili oleh Indische Kerk (gereja negara). Namun bagi kalangan pentakostal apa yang mereka lakukan bukanlah tindakan ‘mencuri domba’ melainkan upaya menambahkan unsur-unsur baru kepada pengajaran dan pengalaman kristiani mereka yang tradisional itu; misalnya ajaran dan praktik lahir baru, baptisan Roh (termasuk bahasa roh, dan penyembuhan ilahi. Apa yang disebutkan terakhir memang unsur ajaran yang menjadi penekanan gerakan pentakosta (GPDI). Pengalaman rohani yang meluap-luap bagi mereka adalah karunia Roh Kudus yang utama dalam hidup. Manifestasi Roh Kudus tampil pada fenomena fisik seperti bahasa Roh, penyembuhan ilahi, dsb. Penamaan diri sebagai ‘gerakan pentakosta’ menjadi dapat dijelaskan karena mereka merujuk pada peristiwa pencurahan Roh Kudus yang tercatat di Alkitab. Satu hal yang kemudian juga mencolok dari sejarah GPDI adalah banyaknya perpecahan yang terjadi di gerakan tersebut. Periode 1930an-1970 telah banyak lahir 112 sinode baru karena perpecahan/perselisihan paham yang terjadi. Salah satu sinode yang muncul akibat perpecahan tersebut adalah Gereja Bethel Indonesia (GBI) yang akan kita bahas pada edisi binawarga yang akan datang.

Kategori
Recent Posts
Archive
bottom of page