FUNDAMENTALISME
Agama sering berisi sejumlah kebenaran yang diyakini oleh pemeluknya. Ketika kebenaran itu dimutlakkan dan semata-mata dimengerti sebagai yang murni turun dari langit, agama malah tidak membumi dan penganutnya menjadi fundamentalis. Memang dengan beragama, manusia mencari kepastian. Namun ketika kepastian itu dipandang sebagai hukum yang turun dari langit, mutlak, dan bertentangan dengan realita hidup yang ada di bumi, maka agama bukan lagi menjadi tafsir dan memberi makna atas kehidupan, tetapi malah menjadi penentang dan benteng pertahanan untuk menghadapi realita hidup di bumi. Fundamentalisme dapat terjadi pada semua agama, terutama ketika kebenaran yang bersifat “langit” itu dirasa terancam oleh kebenaran “bumiah”. Oleh sebab itu, dalam fundamentalisme, pernyataan Allah dipertentangkan dengan akal budi, Alkitab dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Dalam kekristenan, fundamentalisme modern lahir di Amerika Serikat sekitar tahun 70an dalam abad 19, yaitu ketika iman Kristen didesak dan “terancam” oleh ajaran Darwin. Diselenggarakanlah konferensi-konferensi untuk “melawan” ancaman itu. Dalam reaksinya itu biasanya fundamentalisme menjadi militan, galak dan absolut, namun sering sangat tertutup dan kurang nalar serta cenderung kolot dan kurang punya pokok pangkal ajaran yang jelas. Namun perlu diakui, para pengikutnya sering sangat punya komitmen, bersemangat dan bahkan amat fanatik. Di situlaah daya tariknya.
Fundamentalisme juga melanda agama lain seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuaan dan teknologi. Kita perlu bersikap tenang, jernih dan dewasa terhadap fundamentalisme terutama dalam era sekarang di Indonesia. Masyarakat kita adalah masyarakat majemuk, sehingga yang diperlukan adalah sikap dialogis. Bersikap melawan fundamentalisme hanya akan menghidupkan fundamentalisme, karena fundamentalisme lahir dan tumbuh karena faktor melawan lawan.
Kita perlu memperlihatkan dengan jelas bahwa kebenaran yang membumi, yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata justru kebenaran yang kuat. Dalam menyatakan DiriNya, Allah pun bahkan datang ke bumi, mengambil rupa manusia, dan berbicara dengan cara dan bahasa manusia.
Ketika ajaran-ajaran agama tidak lagi mampu menafsirkan kehidupan nyata di bumi, agama mengalami ketegangan dan kehilangan fungsinya. Dan ketika ketegangan antara agama dan nalar, ilmu pengetahuan dan teknologi disikapi dengan kemutlakan, maka agama justru kehilangan fungsinya untuk memberi makna atas hidup manusia.