Wei-ji
Orang biasanya amat bergembira jika mendapat sebuah peluang yang baik. Sebaliknya begitu takut dan sedih ketika berhadapan dengan krisis atau bahaya. Dengan demikian orang selalu cenderung untuk mengharapkan dan menunggu datangnya peluang, dan bersiap-siap untuk selalu menghindari (bahkan kadang-kadang juga melarikan diri) dari krisis.
Apakah peluang itu selalu muncul? Kita tidak pernah tahu. Memang sewaktu-waktu peluang itu muncul, tapi kadang-kadang sebaliknya, ditunggupun tidak kunjung muncul. Oleh sebab itu konon ada beberapa perbedaan manusia bila diukur dari tanggapannya terhadap peluang. Ada orang yang disebut bodoh, karena tidak mampu memanfaatkan peluang. Ada orang pandai, karena ia mampu menggunakan hampir setiap peluang yang ada. Dan ada orang yang bijak dan cerdas. Ia tidak sekedar pandai menggunakan peluang yang ada, tapi bahkan mampu menciptakannya.
Tentang krisis? Pun tidak semua orang mempunyai sikap yang sama. Dalam filsafat kuno tentang krisis dan peluang, krisis dan kesulitan tidaklah selalu dipandang sebagai sesuatu yang selalu negatif. Dalam bahasa Cina, krisis disebut dengan kata wei-ji. Dalam aksara Cina, wei-ji merupakan gabungan dari aksara wei-jien (yang berarti “bahaya”) dengan aksara ji-hwee (yang berarti “peluang”). Jadi dari hubungan kata-kata itu ada makna yang unik dan mendalam, yaitu bahwa dalam setiap peluang selalu terkandung unsur bahaya dan resiko. Jangan gegabah dengan peluang, perhitungkan bahaya dan resikonya, kalau anda mau ambil. Sebaliknya dalam setiap resiko atau bahaya, di baliknya juga terkandung peluang. Jadi tidak selalu harus dihindari.
Dari penalaran semacam itu kita belajar bahwa bagi orang yang penakut dan pasif, akan selalu takut, sedih dan meratap bila dihadapannya terjadi krisis. Sebaliknya bagi mereka yang berani dan kreatif serta bijak, krisis atau kesulitanpun masih dapat menimbulkan peluang. Memang dibutuhkan strategi baru dan tepat serta kecerdasan bila kita mau memanfaatkannya.
Melalui perumpamaan Bendahara yang Tidak Jujur sebenarnya Yesus tidak sedang mengajarkan kejujuran, meski kejujuran adalah salah satu kebajikan yang diajarkan Yesus. Banyak pendeta yang kurang mendalami Alkitab mentemai perikop ini dengan tema kejujuran. Yang sedang diajarkan Yesus di sini adalah kecerdikan dalam menghadapi krisis dan menyelamatkan masa depan. Yesus memuji bendahara yang tidak jujur itu dalam hal kecerdikannya, dan mengritik anak-anak terang yang kurang cerdik bahkan bodoh ketika mengurus dan menggunakan uang. Mungkin jujur, tapi bodoh. Kalau mengurus uang saja (yang relative mudah) tidak cerdik dan setia, bagaimana bisa mengurus harta sorgawi / kerajaan Allah? Kalau mengurus hal-hal kecil saja bodoh dan tidak setia, siapa yang akan mempercayakan harta sorgawi? Jujur memang harus. Tapi jangan bodoh dan tidak cerdas.