M O G O K ?
Kesusahan, penderitaan, kekecewaan, kalau tidak dikelola dengan baik dan benar dapat begitu mengubah seseorang. Sedemikian hebatnya perubahan itu, bukan hanya membuat sukacita hidup sirna, tetapi bahkan merubah sikap dasar manusia terhadap Tuhan. Manusia mogok memuji dan beribadah kepada Tuhan. Dan jangan kaget, perubahan itu bukan sesuatu yang jarang terjadi, tetapi sebaliknya malah amat menggejala dalam kehidupan orang beriman.
Itulah yang terjadi atas bangsa Israel yang terbuang di Babilonia. Sebagai bangsa mereka dikalahkan, dan sebagai umat Alah mereka harus menyaksikan Yerusalem dihancurkan, ditawan dan dibuang ke negeri penakluknya. Memang mereka diberi tempat di tepi sungai Babilon. Merekapun masih dapat beribadah. Tetapi kekecewaan dan kesedihan mereka membuat mereka amat terpukul dan frustrasi. Mereka tidak lagi dapat melihat kemungkinan-kemungkinan dan pengharapan. Mereka tidak lagi memiliki semangat. Kekecewaan mereka menggerogoti hati mereka sehingga segala kegiatan mereka selalu dihiasai rasa kecewa, air mata kepedihan, ketiadaan sukacita dan pengharapan. Yang ada hanyalah sedih dan kecewa.
Lalu mereka berhenti memuji Tuhan dan hanya duduk menangis di tepi sungai-sungai Babel. Mereka menggantungkan kecapi pada dahan-dahan pohon gandarusa. Mereka mogok menyanyi dan memuji Tuhan, menolak beribadah dan hanya menghabiskan waktu dengan menangis kecewa. “Bagaimana kita bisa menyanyikan nyanyian Tuhan di tempat asing?”
Ketika seorang merasa terbuang dari keluarga atau kelompoknya, ketika merasa gagal dan kecewa, ketika penderitaan dirasa sedemikian pahit, sungguh dapat menjadi sebuah pengalaman yang amat menyakitkan. Namun akan menjadi lebih tragis lagi kalau hal itu sudah menjadikan seseorang menghancurkan hubungannya dengan Tuhan, mogok beribadah, mogok berdoa, mogok memuji Tuhan. Memang alasan yang dikemukakan tampaknya dapat dipahami: “Bagaimana dapat berdoa dan memuji Tuhan kalau hati saya kecewa dan sedih?” Tapi bukankah justru dalam keadaan seperti itu manusia bahkan sedang “lebih membutuhkan” Tuhan? “Bagaimana saya dapat menyanyikan pujian kepada Tuhan di negeri yang asing dan jauh dari Yerusalem?” Tapi bukankan di negeri asingpun Tuhan dapat dipuji dan berkenan mendengar pujian orang beriman?
Kalau Anda membaca tulisan ini dan menemukan bahwa ”kecapi” (dan bahkan hati) Anda “tergantung di dahan pohon gandarusa” dan “tak lagi mengiringi puji-pujian Anda”, inilah saatnya Anda kembali meraih kecapi (dan hati) Anda untuk kembali menyanyikan puji-pujian yang mengiringi ibadah Anda. Ingat, Allah tidak pernah “mogok” mengalirkan berkatNya kepada kita.